Panduan Al-Qur’an dalam Mengajak

panduan dakwah menurut al-qur'an

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Ayat diatas merupakan ayat yang mungkin sering kita dengar dan merupakan panduan bagi setiap orang dalam berdakwah atau mengajak untuk kebaikan. Terdapat beberapa poin pelajaran penting yang dapat kita ambil dari ayat diatas:

 

Pertama, Kata ud’u itu berarti mengajak. Mengajak itu berbeda dengan memerintah. Ketika mengajak maka kita perlu memikirkan bagaimana caranya agar orang yang kita ajak itu tertarik dengan ajakan kita. Jadi, caranya harus baik dan menarik.

 

Kedua, Mengajak ke jalan Tuhanmu. Disini yang diperintahkan kepada kita adalah mengajak orang ke jalan Tuhan. Bukan jalan kelompok kita, mazhab kita, partai, ormas, dan berbagai atribut partisan lainnya. Tugas kita adalah mengajak orang untuk menuju ke jalan Allah. Dan penggunaan kata “Sabil” dalam al-Qur’an biasa digunakan untuk jalan-jalan kecil yang bisa banyak. Jalan-jalan kecil itu nanti akan mengantarkan kita pada jalan lebar yang lurus (ash-shirath al-mustaqim). Jalan-jalan kecil itu cirinya adalah penuh kedamaian. Seperti dijelaskan dalam ayat berikut:
يَهْدِى بِهِ ٱللَّهُ مَنِ ٱتَّبَعَ رِضْوَٰنَهُۥ سُبُلَ ٱلسَّلَٰمِ وَيُخْرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ بِإِذْنِهِۦ وَيَهْدِيهِمْ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan-jalan kedamaian (keselamatan), dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan (lebar) yang lurus.” (QS. Al-Maidah: 16).
Jadi dari jalan-jalan kecil yang bercirikan kedamaian (subul assalam) itu, nanti Allah akan antarkan kita menuju jalan lebar yang lurus (ash-shirath al-mustaqiim).

 
Ketiga, dalam mengajak itu harus berdasarkan hikmah. Hikmah disini dapat diartikan dengan cara yang bijaksana. Bicaralah kepada manusia yang sesuai dengan target yang kita ajak bicara. Mengajak orang itu juga harus memerhatikan situasi dan kondisi yang diajak bicara maupun saat ketika kita menyampaikannya. Dengan hikmah juga dapat diartikan bahwa apa yang kita sampaikan itu memang memiliki dasar dan pengetahuan yang kuat. Jangan menyampaikan atau menyebarkan sesuatu yang kita tidak tahu dasar dan kebenarannya. Jangan asal bicara atau share, karena semuanya akan dimintai pertanggung-jawabannya.
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’: 36)

 
Keempat, ajakan kebaikan harus disampaikan dengan cara yang lemah lembut.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…” (QS. Ali Imron: 159)

 
Kelima, berdebat merupakan jalan terakhir dalam menyampaikan ajakan. Itupun harus dilakukan dengan cara yang TERBAIK. Bukan hanya baik, tapi yang terbaik atau lebih baik.

 
Keenam, seperti disampaikan di awal bahwa tugas kita adalah mengajak, bukan memerintah apalagi menghakimi orang lain. Kita tidak diperintah untuk memberi hidayah (petunjuk), melainkan hanya menyampaikan dengan cara yang terbaik. Rasulpun juga selalu menyampaikan bahwa tugas beliau hanyalah menyampaikan, sementara hidayah itu adalah hak prerogatif Allah SWT.

 
Ketujuh, dalam mengajak orang, janganlah kita menghakimi orang lain bahwa jalan yang ini adalah jalan yang benar sedangkan jalan lain adalah sesat. Karena hanya Allah lah yang mengetahui siapa yang mendapatkan petunjuk dan siapa yang tersesat. Allah memberikan penegasan berganda disini ketika mengatakan bahwa inna rabbaka huwa a’lamu…. (sesungguhnya Tuhanmu Dia lebih mengetahui….). Karena sebenarnya tanpa kata “huwa” pun sudah cukup untuk menyatakan bahwa Allah lebih mengetahui. Tapi disini Allah sisipkan lagi kata “huwa” (Dia) untuk memberi penegasan tambahan bahwa Hanya dan Hanya Dia yang mengetahui siapa yang mendapatkan petunjuk dan siapa yang sesat. Jadi jangan menyesat-nyesatkan orang/kelompok lain. Karena kita sama-sama hamba, bukan Tuhan. []

 
DKM Al-Abror
5 Ramadhan 1441 H / 28 April 2020

Leave a comment