Menjawab Ujian Hidup

pemilik kebunAdalah sebuah keniscayaan bahwa hidup ini akan selalu dipenuhi dengan ujian-ujian. Ujian yang ditujukan untuk mengevaluasi siapa diantara manusia yang paling baik amalannya dalam menjawab ujian-ujian kehidupan tersebut.

Al-Qur’an memberikan pedoman bagaimana menghadapi ujian-ujian yang sebenarnya akan banyak berulang untuk diujikan pada manusia dari masa ke masa. Salah satu metode yang ditempuh al-Qur’an adalah melalui penuturan kisah-kisah (story telling). Saat ini kita akan mencoba mengambil mutiara hikmah dari kisah pertama yang diutarakan dalam al-Qur’an, yaitu kisah para pemilik kebun.

اِنَّا بَلَوْنٰهُمْ كَمَا بَلَوْنَآ اَصْحٰبَ الْجَنَّةِۚ
Sungguh kami akan memberikan ujian seperti kami juga telah menguji para pemilik kebun.” (QS. Al-Qalam: 17)

 

Dalam surat al-Qalam, Allah swt mengutip sebuah kisah yang menceritakan bagaimana Dia memberikan ujian kepada para pemilik kebun. Ujian tersebut dulu diujikan kepada para pemilik kebun, lalu diujikan pula kepada para kaum Quraisy pada masa Nabi Muhammad SAW, dan dipastikan juga akan terus diberikan kepada umat-umat berikutnya termasuk pada kita saat ini dan seterusnya.

Apakah soal ujian yang berulang dan akan terus berulang tersebut?

 

TERLALU PERCAYA DIRI, LUPA TUHAN
Dalam kasus yang diceritakan dalam surat al-Qalam ini, para pemilik kebun merasa sangat yakin bahwa apa yang telah diusahakannya (kebun-kebun yang dirawatnya) itu akan ia peroleh hasilnya. yaitu ketika mereka bersumpah akan memanen hasil kebunnya besok hari.

اِذْ اَقْسَمُوْا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِيْنَۙ
وَلَا يَسْتَثْنُوْنَ
17…ketika mereka bersumpah pasti akan memetik (hasil)nya pada pagi hari, 18. dan mereka tidak mengecualikan (dengan mengucapkan, “Insya Allah”).” (QS. Al-Qalam: 17-18)

 

Kenyataan yang terjadi berbeda dengan keyakinan mereka. Allah SWT membuyarkan keyakinan dari para pemilik kebun tersebut dengan menghancurkan kebun yang sedianya akan dipanen esok hari tersebut. Tanpa sama sekali diduga/diketahui oleh para pemilik kebun tersebut. Sama sekali tak ada lagi yang tersisa dari kebun tersebut untuk dipanen.

 

فَطَافَ عَلَيْهَا طَاۤىِٕفٌ مِّنْ رَّبِّكَ وَهُمْ نَاۤىِٕمُوْنَ
فَاَصْبَحَتْ كَالصَّرِيْمِۙ
19. Lalu kebun itu ditimpa bencana (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur. 20. Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita,” (QS. Al-Qalam: 19-20)
Pelajaran yang dapat diambil dari sini: Kita adalah makhluq yang lemah dan sangat terbatas. Hanya Allah lah yang mampu mengendalikan keseluruhan sebab untuk terjadinya sesuatu. Apa yang menurut pemikiran kita sudah pasti akan terjadi, sebenarnya belum tentu terjadi jika Allah tidak menghendaki. Maka selalu gantungkan dan serahkan hasil segala upaya terbaik kita kepada Allah SWT. Dan segala puji hanya milik Allah SWT, Sang pemelihara dan pengendali alam semesta.

Di awal tahun kemarin, mungkin kita sudah menyusun banyak rencana dan target yang akan kita capai tahun ini. Hasil yang kita lakukan di awal tahun bisa jadi membuat kita semakin yakin bahwa kita akan berhasil mencapai target-target yang telah kita tetapkan tersebut. Hingga kemudian datanglah ujian berupa pandemi COVID-19 ini yang membuyarkan semua perencanaan dan target-target tersebut. Bahkan semua orang dipaksa harus tinggal di rumah saja. Bisa apa kita?!

 

MENYIKAPI MUSIBAH

Kemudian soal ujian berikutnya adalah bagaimana menyikapi sebuah bencana atau hal yang tidak menyenangkan.

Apa yang diungkapkan dalam kisah perdana dalam al-Qur’an ini nampaknya sejalan dengan yang dijelaskan oleh para psikolog. Elizabeth Kubler-Ross mengemukakan bahwa terdapat 5 tahapan yang biasa dialami seseorang ketika menghadapi musibah yang tidak mengenakkan. Tahapan-tahapan ini dialami pula oleh para pemilik kebun dalam kisah ini ketika mereka ditimpa musibah yang tidak mengenakkannya.

Tahap 1: Penyangkalan (Denial)
Tahap ini biasanya merupakan fase pertama ketika seseorang menerima musibah. “Ini tidak mungkin!”, “Bagaimana ini bisa terjadi!!”, “Saya tidak mungkin kalah”, “Musibah ini bukan untuk kita muslimin”, dan sejenisnya. Dalam surat al-Qalam, diungkapkan dalam ayat:

فَلَمَّا رَاَوْهَا قَالُوْٓا اِنَّا لَضَاۤلُّوْنَۙ
maka ketika mereka melihatnya (kebun yang hangus), mereka berkata (tidak mungkin) sebenarnya kita telah tersesat (ini bukan kebun kita).” (QS. Al-Qalam: 26)

 

Tahap 2: Marah-marah (anger)

بَلْ نَحْنُ مَحْرُوْمُوْنَ
Tapi kita hanya terhalangi saja.” (QS. Al-Qalam: 27)

Ada yang menghalang-halangi kita. Ini gara-gara kelompok itu. Ini konspirasi bangsa ini dan itu. Dia marah dan melampiaskannya pada pihak lain.

 

Tahap 3: Tawar-menawar, timbang menimbang (bargaining)

قَالَ اَوْسَطُهُمْ اَلَمْ اَقُلْ لَّكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُوْنَ
berkatalah seorang yang paling bijak (moderat) di antara mereka, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, mengapa kamu tidak menyucikan (kepada Tuhanmu).” (QS. Al-Qalam: 28)

 

Pada saat suasana kalut karena musibah tersebut, muncullah diantara mereka orang yang bersikap moderat (pertengahan), yang masih dapat berfikir dengan jernih. Bahwa memang mereka ini telah melakukan kesalahan yang menyebabkan terjadinya musibah tersebut. Sikap jernih dari salah seorang diantara kelompok mereka sendiri ini menyadarkan selainnya akan kesalahan yang telah mereka lakukan. Dan kemudian mereka menyucikan Tuhannya bahwa musibah ini terjadi karena kezaliman yang mereka lakukan.

قَالُوْا سُبْحٰنَ رَبِّنَآ اِنَّا كُنَّا ظٰلِمِيْنَ
Mereka mengucapkan, “Mahasuci Tuhan kami, sungguh, kami adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Qalam: 29)
Tahap 4: Depresi. Mulai menarik diri, putus asa dan menyerah pada keadaan
Mereka lalu saling menyalahkan satu sama lainnya.

فَاَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلٰى بَعْضٍ يَّتَلَاوَمُوْنَ
Mereka saling berhadap-hadapan dan saling tuding satu sama lainnya.” (QS. Al-Qalam: 30)
قَالُوْا يٰوَيْلَنَآ اِنَّا كُنَّا طٰغِيْنَ
Sungguh kami telah celaka. Sungguh kami telah berbuat melampaui batas.” (QS. al-Qalam: 31)

 

Tahap 5: Penerimaan (Acceptance)
Pada tahap ini seseorang sudah mulai menyadari dan menerima keadaan. hidup harus terus berjalan. Dunia belum kiamat. Masih ada hari esok. Setelah musibah ini berlalu, semoga Allah SWT memberikan kepada kita karunia yang lebih baik. Sebuah “normal” baru yang menjadikan kita hamba Nya yang lebih berkualitas. Sungguh, hanya pada Allah lah kita dapat berharap. Bukan selain Nya.

عَسٰى رَبُّنَآ اَنْ يُّبْدِلَنَا خَيْرًا مِّنْهَآ اِنَّآ اِلٰى رَبِّنَا رَاغِبُوْنَ
Semoga Tuhan kami memberikan pengganti yang lebih baik darinya (yang hilang tersebut), dan sesungguhnya kepada tuhan kami kita semua berharap.” (QS. Al-Qalam: 32)
Islam mengajarkan pada kita untuk selalu bersabar dalam menghadapi musibah yang dihadapi. Nabi SAW pernah memberikan penjelasan bahwa sikap sabar yang sebenarnya itu adalah ketika di awal musibah terjadi.

Sesungguhnya sabar (yang sebenar-benarnya) itu pada “pukulan” pertama”, yaitu pada saat awal terjadinya musibah, kata Nabi SAW. Orang sabar mestinya tidak perlu pakai penyangkalan, marah-marah, depresi, baru akhirnya mau menerima. Tapi, betapapun, kebanyakan orang tak mampu sehingga harus melalui tahapan-tahapan seperti yang dialami para pemilik kebun diatas.
Memang tidak mudah untuk bisa bersabar pada “pukulan” pertama itu. Karenanya balasannya pun juga luar biasa.
Sesungguhnya orang-orang yang bersabar itu akan diberikan balasan pahala yang tak terbatas.” (QS. Az-Zumar: 10).
Itulah diantara soal ujian yang diterima orang dulu, kini dan akan datang. Inna balauna kama balauna ashab al-Jannah.

Akan luluskah kita menjawab soal ujian yang sudah bocor ini?

Ya Allah Yaa Tuhan kami, Yang Maha Sabar. limpahkanlah kesabaran kepada kami dan teguhkanlah kami dengannya. []

 

DKM Al-Abror
9 Ramadhan 1441 H / 2 Mei 2020

Leave a comment